TUGAS ISD 2
INDONESIA
MENJADI NEGARA DENGAN JUMLAH PEROKOK AKTIF TERBESAR DI DUNIA
Ketika
berbicara tentang kehidupan para remaja, sangat menarik sekali. Ketika melihat
suatu fenomena yang terjadi saat ini yang seharusnya menjadi sebuah masukkan
bagi kita semua. Fenomena ini berkutat pada masalah perilaku para remaja saat
ini. Permasalahan tentang menurunnya moral yang terjadi saat ini, terlihat dari
berbagai berita dari sumber terpercaya yang ada. Berikut pemaparan hasil
penemuan mereka.
Anak Indonesia
Perokok Aktif
Harianterbit.com | Jumat, 30 Mei 2014
11:45:00 WIB
Jakarta, HanTer
- Indonesia menjadi negara terbesar jumlah prevalensi perokok aktif di dunia,
yakni 36 persen orang dewasa dan 67 persen pria remaja berdasarkan data global
adult tobaco survey 2011. Bahkan, sejak 2011 hingga saat ini terjadi
peningkatan perokok aktif di kalangan remaja dan anak-anak, yakni dari lima
persen menjadi 17 persen.
Anggota Dewan Penasihat Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, Dr Kartono Mohamad, mengatakan, kondisi ini cukup memprihatinkan sekaligus menjadi ancaman bagi generasi penerus bangsa. Sebab, saat ini dua dari tiga laki-laki di indonesia merupakan perokok aktif.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemkes) pada 2010, jumlah perokok aktif pada anak-anak usia 10-14 tahun sebanyak 3,9 juta. Tentunya, angka tersebut terus mengalami peningkatan, sebab Indonesia belum menandatangani ratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control-FCTC) yang telah disepakati 187 negara.
"Ada peningkatan perokok aktif pada remaja dan anak-anak di Indonesia, dari lima persen, 10 persen, 12 persen, dan sekarang 17 persen. Bahkan, usia balita sudah merokok. Ini yang memprihatikan," kata Kartono saat dihubungi Harian Terbit, kemarin, terkait Hari Tembakau Sedunia yang diperingati setiap 31 Mei.
Menurutnya, pemerintah terutama Kemkes sangat minim dalam melakukan pengawasan bahaya rokok terhadap masyarakat, terutama anak-anak. Bahkan, dia menilai tidak ada niat dari pemerintah untuk melindungi anak-anak. "Kebijakan-kebijakan hanya sebatas wacana, penerapannya nol," kecamnya.
Dia memaparkan, terdapat banyak cara untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak dari bahaya rokok serta mengurangi jumlah perokok aktif di Indonesia. Pertama, pemerintah bisa menaikkan harga dan cukai (pajak) rokok, karena itu juga dapat menaikkan pendapatkan negara. "Ini bisa kurangi orang miskin tidak membeli rokok sekitar 80-90 persen. Namun, penurunannya tidak bisa secara drastis, butuh waktu," jelasnya.
Kedua, anak-anak tidak diperbolehkan membeli rokok. Artinya, tempat-tempat seperti supermarket, minimarket serta warung-warung rokok pinggir jalan yang menjadi tempat beredarnya rokok-rokok, diberi larangan bahwa anak di bawah 18 tahun tidak boleh membeli rokok. "Bisa juga toko-toko rokok dan warung-warung dilarang menjual rokok ketengan (eceran)," ungkapnya.
Ketiga, iklan-iklan rokok di media massa, baik cetak, online terutama elektronik dihapuskan. Sebab, katanya, iklan-iklan di televisi menjadi media yang paling mempengaruhi anak-anak menjadi perokok. "Anak-anak tahu rokok itu dari situ (iklan televisi). Makanya, iklan-iklan itu harus dihapus untuk mencegah perokok baru," tegasnya
Secara umum, tuturnya, untuk membatasi serta melindungi masyarakat yang tidak merokok atau perokok pasif, pemerintah harus membuat Kawasan Tanpa Asap (KTA) di tempat-tempat umum. Menurutnya, orang yang tidak merokok namun terkena asap rokok, dampaknya lebih buruk dari perokok aktif. "Membatasi tempat-tempat umum agar masyarakat tidak terkena dampak dari rokok yang dapat mengganggu kesehatan," tuturnya.
Anggota Dewan Penasihat Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, Dr Kartono Mohamad, mengatakan, kondisi ini cukup memprihatinkan sekaligus menjadi ancaman bagi generasi penerus bangsa. Sebab, saat ini dua dari tiga laki-laki di indonesia merupakan perokok aktif.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemkes) pada 2010, jumlah perokok aktif pada anak-anak usia 10-14 tahun sebanyak 3,9 juta. Tentunya, angka tersebut terus mengalami peningkatan, sebab Indonesia belum menandatangani ratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control-FCTC) yang telah disepakati 187 negara.
"Ada peningkatan perokok aktif pada remaja dan anak-anak di Indonesia, dari lima persen, 10 persen, 12 persen, dan sekarang 17 persen. Bahkan, usia balita sudah merokok. Ini yang memprihatikan," kata Kartono saat dihubungi Harian Terbit, kemarin, terkait Hari Tembakau Sedunia yang diperingati setiap 31 Mei.
Menurutnya, pemerintah terutama Kemkes sangat minim dalam melakukan pengawasan bahaya rokok terhadap masyarakat, terutama anak-anak. Bahkan, dia menilai tidak ada niat dari pemerintah untuk melindungi anak-anak. "Kebijakan-kebijakan hanya sebatas wacana, penerapannya nol," kecamnya.
Dia memaparkan, terdapat banyak cara untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak dari bahaya rokok serta mengurangi jumlah perokok aktif di Indonesia. Pertama, pemerintah bisa menaikkan harga dan cukai (pajak) rokok, karena itu juga dapat menaikkan pendapatkan negara. "Ini bisa kurangi orang miskin tidak membeli rokok sekitar 80-90 persen. Namun, penurunannya tidak bisa secara drastis, butuh waktu," jelasnya.
Kedua, anak-anak tidak diperbolehkan membeli rokok. Artinya, tempat-tempat seperti supermarket, minimarket serta warung-warung rokok pinggir jalan yang menjadi tempat beredarnya rokok-rokok, diberi larangan bahwa anak di bawah 18 tahun tidak boleh membeli rokok. "Bisa juga toko-toko rokok dan warung-warung dilarang menjual rokok ketengan (eceran)," ungkapnya.
Ketiga, iklan-iklan rokok di media massa, baik cetak, online terutama elektronik dihapuskan. Sebab, katanya, iklan-iklan di televisi menjadi media yang paling mempengaruhi anak-anak menjadi perokok. "Anak-anak tahu rokok itu dari situ (iklan televisi). Makanya, iklan-iklan itu harus dihapus untuk mencegah perokok baru," tegasnya
Secara umum, tuturnya, untuk membatasi serta melindungi masyarakat yang tidak merokok atau perokok pasif, pemerintah harus membuat Kawasan Tanpa Asap (KTA) di tempat-tempat umum. Menurutnya, orang yang tidak merokok namun terkena asap rokok, dampaknya lebih buruk dari perokok aktif. "Membatasi tempat-tempat umum agar masyarakat tidak terkena dampak dari rokok yang dapat mengganggu kesehatan," tuturnya.
Setiap
hari kita saksikan bagaimana perusahaan rokok memberikan citra positif terhadap
perokok, dengan cara menampilkan suatu kegiatan sosial, kegiatan yang menantang
dan sederet aktivitas lainnya yang memberikan gambaran betapa hebatnya seorang
perokok. Iklan rokok dari berbagai bentukpun menghiasi warung kaki lima hingga
televisi. Perusahaan rokok sangat gencar dalam beriklan, jangankan hanya
menyeponsori even lokal, untuk beriklan secara nasional dan di berbagai media
televisipun tidak diragukan lagi kehebatannya. Sehingga wajar, dampak iklan
rokok terhadap peningkatan jumlah perokok sangat pesat, khususnya di kalangan
generasi muda dan pelajar yang sedang mencari identitas diri. Padahal, berbagai
penelitian tentang rokok, tidak satupun yang menghasilkan bahwa seorang perokok
menjadi orang yang hebat, bahkan kebanyakan hasilnya menyatakan bahwa perokok
dan orang yang terpapar asap rokok mempunyai resiko penyakit 5 kali lebih berat
dibandingkan orang yang tidak merokok.
Berdasarkan
informasi diatas Indonesia adalah salah satu negara
yang tidak menandatangani kontrak kesepakatan framework
convention of tobacco control (FCTC),
sehingga tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melarang atau
mengendalikan peredaran rokok di negaranya. Dampaknya adalah perokok pemula dan
perokok aktif semakin meningkat, bahkan telah merambah remaja yang sebagian
besar adalah pelajar. Setiap hari, kita dapat menyaksikan bagaimana seorang
anak dengan seragam putih biru dengan bangganya mengisap rokok di jalanan.
Bahkan yang sangat menyedihkan lagi adalah seorang balita perokok yang
dijadikan tontonan dan hiburan oleh orang-orang di sekitarnya.
Seorang
sastrawan nasional di dalam puisinya menyatakan bahwa Indonesia adalah syurga
bagi para perokok. Kita dapat menyaksikan seorang perokok dapat merokok seenak
dan sepuasnya di manapun ia berada dan dalam kondisi apapun. Lihatlah, orang
bebas merokok di kantor, pasar, angkot, kakus, pesta dan di manapun. Bahkan di
ruang ber-AC yang bertulisan dilarang merokokpun, seorang perokok tidak
segan-segan merokok. Pagi buta, di saat bangun tidur, siang di saat antri
menunggu makan siang dan malam hari menjelang tidur para perokok masih setia
menyalakan rokok dan mengisapnya. Pada saat pusing oleh pekerjaan atau santai
bersama teman, rokok menjadi menu utama. Fenomena rokok lainnya adalah pada
saat pesta pernikahan atau renungan kematian, rokok tetap menjadi santapan
resmi. Inilah fenomena yang kita
hadapi, baik secara lokal maupun nasional. Seseorang yang bukan perokok,
digratiskan mengisap asap rokok, tanpa harus membeli atau mengisap rokoknya.
Itupun juga ditambah bonus resiko penyakit yang disebabkan oleh asap rokok yang
mengandung sekitar 4.000 zat kimia berbahaya.
Dampak negatif rokok tidak
hanya dari segi kesehatan, tapi telah menyangkut sosial dan ekonomi. Dampak
sosial di antaranya adalah hilangnya rasa nyaman bagi orang yang tidak merokok,
hilangnya hak asasi seseorang terhadap udara segar, bebasnya remaja merokok di
jalanan walaupun masih menggunakan seragam sekolah dan tidak sedikit terjadinya
kebakaran dikarenakan putung rokok yang dibuang sembarangan sebelum dimatikan.
Masalah ekonomi keluargapun juga turut terganggu oleh pengeluaran untuk rokok,
di mana pengeluaran untuk rokok melebihi pengeluaran untuk kebutuhan lainnya.
Adapun penangan solusi untuk
menghadapi masalah dan fenomena tersebut, kita dituntut tidak berpangku tangan
dan berdiam diri. Seluruh komponen masyarakat harus bergerak dan berbuat sesuai
dengan kemampuannya. Hal ini merupakan tanggung jawab dan kontrol sosial kita
selaku warga masyarakat. Dengan adanya kontrol sosial yang baik, tentu akan
dapat mengurangi perilaku merokok walaupun secara bertahap. Tetapi, yang paling
utama adalah keseriusan pemerintah dalam membuat regulasi untuk mengendalikan
peredaran rokok. Tanpa keseriusan pemerintah, masyarakat akan menjadi penonton sejati
tanpa tahu harus berbuat apa, karena tidak ada rambu-rambu yang harus ditaati.
Pemerintah dari pusat
hingga kabupaten/kota dapat dikatakan belum siap untuk melakukan perubahan
radikal dan takut dianggap ekstrim terhadap peredaran rokok. Padahal, tanpa
keberanian dan keseriusan, perubahan tidak akan dapat dicapai. Instansi
terkaitpun tidak mampu untuk mengatasi masalah rokok secara mandiri,
dikarenakan masalah tersebut merupakan hal yang berat untuk diatasi sendiri,
tanpa melibatkan sektor lain dan masyarakat.
Bercermin
dengan kebijakan kawasan tanpa rokok di beberapa daerah di Indonesia, pembuatan
dan pelaksanaan kawasan tanpa rokok di kota Padang Panjang ternyata memberikan
hasil yang lebih baik. Keseriusan pemerintah daerah setempat terhadap peredaran
rokok (termasuk iklan rokok dan tempat merokok) membuahkan hasil berupa
peraturan yang melarang iklan rokok di dalam kota Padang Panjang, larangan
merokok di tempat-tempat tertentu, seperti sarana kesehatan, sarana pendidikan,
kantor, tempat ibadah dan angkutan umum.
Mungkin
kita perlu belajar sedikit kepada kota Padang Panjang provinsi Sumatera barat
terkait dengan peredaran rokok, utamanya kawasan tanpa rokok, kawasan tertib
rokok dan kawasan tanpa iklan rokok. Ketiga peraturan tersebut telah memberikan
dampak signifikan dalam mengurangi angka perokok di daerah tersebut. Dalam
pelaksanaannya, pemerintah tidak berjalan sendiri. Komponen masyarakat telah
turut serta dalam sosialisasi, monitoring dan penerapan peraturan tersebut.
Peranan tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat dalam
mengkampanyekan peraturan tersebut sangat berpengaruh positif. Bahkan yang
menarik adalah kepedulian masyarakat sangat tinggi dalam penerapannya.
Peraturan tersebut tidak mengatur tentang merokok di dalam rumah, tetapi
ternyata sebagian besar masyarakat telah melindungi anggota rumahnya dari asap
rokok dengan melarang tamu merokok di rumahnya. Walaupun demikian, pelaksanaan
peraturan tersebut tidak dapat diterapkan efektif di semua tempat. Contohnya di
angkutan umum masih ada yang merokok. Inilah yang perlu dicermati dan
dipelajari lebih lanjut untuk mengendalikan peredaran rokok.
Jadi, keseriusan
pemerintah yang didukung dengan kepedulian masyarakat melalui peran serta tokoh
agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat memberikan hasil yang optimal. Kita
perlu belajar proses dan pelaksanaannya, sehingga hal yang positif dalam
pengendalian peredaran rokok di daerah kita dapat diterapkan. Sekali lagi,
keseriusan pemerintah dan dukungan masyarakat sangat menentukan keberhasilan
kebijakan yang dibuat, terutama dalam pengendalian tembakau, terutama rokok dan
sejenisnya. Sebagai masyarakat, tentunya kita sangat mengharapkan derajat
kesehatan yang optimal dan kualitas sumber daya masyarakat yang optimal juga.
Komentar
Posting Komentar