TUGAS ISD 3 ( HAM )

Orang Miskin Dilarang Sakit

Hidup sehat adalah salah satu hak asasi manusia. Menurut Pasal 28A UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (1) UU HAM, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. “Membuang” atau menelantarkan orang sakit yang membutuhkan pertolongan adalah bentuk pelanggaran HAM. Dalam hal penyakit orang tersebut adalah penyakit yang jika tidak ditolong dapat menyebabkan meninggal dunia, maka hal ini juga merupakan bentuk pelanggaran hak untuk hidup seseorang.

Tahun 2014 memang sudah berlalu namun ditahun tersebut salah satu kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia ( HAM ) kembali terjadi yakni, Pembuangan pasein dari Rumah Sakit Umum Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung, karena diduga pasien tersebut tidak dapat membayar biaya operasional rumah sakit tersebut, berikut kutipan berita dari sumber terpercaya yang ada. Berikut pemaparan hasil penemuan mereka.

Kisah Kakek Suparman Dibuang Rumah Sakit 

Pembuangan pasien oleh Rumah Sakit Umum Dadi Tjokrodipo yang berujung kematian Suparman, 75 tahun, tunawisma di Bandar Lampung, dinilai banyak menyimpan kejanggalan. "Para pelaku yang jadi tersangka berasal dari kalangan bawah dan dalangnya bukan dari kalangan medis," kata Wali Kota Bandar Lampung Herman HN, Ahad, 9 Febuari 2014.

Dia mencium ada ketidakberesan dari kasus pembuangan pasien dari rumah sakit milik Pemerintah Kota Bandar Lampung yang selalu mendapat nilai bagus dari Ombudsman dan tim penilai dari Universitas Lampung itu. "Makanya saya langsung memerintahkan inspektorat membentuk tim khusus untuk menelusuri kasus itu. Mereka sudah bekerja sehingga polisi bisa cepat mengungkap pelakunya," kata Herman.

Hasil investitasi tim itu, kata Herman, cukup mencengangkan karena pembuangan pasien itu didalangi oleh Kepala Subbagian Umum dan Kepegawaian RSUD Dadi Tjokrodio, Heriyansyah, yang tidak memiliki akses dan wewenang medis. "Ada indikasi keterlibatan orang di luar manajemen rumah sakit," kata Herman.

Berdasarkan hasil pemamparan di atas pembuangan pasien oleh rumah sakit yang berujung kematian diduga pelakunya melibatkan orang dalam rumah sakit. Kasus ini kesalahan tidak hanya ditimpakan kepada pelaku yang sekarang diproses hukum tetapi juga manajemen rumah sakit jika kelak ditemukan adanya bukti perintah yang menyebabkan tindakan pembuangan pasien dilakukan. Namun Tak hanya pelaku orang dalam rumah sakit, pemerintah juga harus bertanggung jawab karena “ ada indikasi keterlibatan orang diluar manajemen rumah sakit tersebut” yakni pelakunya pegawai negeri sipil (PNS) yang notabene adalah aparatur negara.

Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 1 ayat (1) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan secara rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Sedangkan di ayat (4) pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung di rumah sakit.

Dari definisi itu rumah sakit didirikan untuk bersama-sama dengan pasien menyelenggarakan pelayanan kesehatan bermutu, transparan dan professional. Karena itu rumah sakit sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan tidak boleh menolak pasien apalagi membuangnya secara semena-mena.

Ada beberapa dugaan mengapa rumah sakit tega melakukan tindakan pembuangan pasien. Pertama, Suparman merupakan orang miskin dan terlantar yang tidak dikenal, bahkan tidak mempunyai saudara yang dapat dihubungi. Rumah sakit berasumsi selain dipastikan tidak mampu membayar biaya operasional selama dirawat, juga kapan perawatan harus diakhiri tidaklah jelas. Selain harus menanggung biaya yang kian membengkak, rumah sakit juga kesulitan mempertanggungjawabkan pembiayaan bagi Suparman.

Kedua, meski terdapat jaminan kesehatan masyarakat sebagaimana dijanjikan pemerintah tapi dalam prakteknya tidaklah semulus yang diucapkan. Banyak kejadian membuktikan pasien miskin yang membawa kartu Jamkesmas atau Jamkesda memperoleh perlakuan berbeda dibandingkan dengan pasien yang membayar sendiri. Status miskin yang dilekatkan kepada pemegang kartu itu tetap membuat sikap petugas kesehatan rumah sakit memperlakukan secara berbeda. Ini untuk memperhalus ungkapan mempersulit pasien miskin.

Dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 29b dinyatakan rumah sakit berhak memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai standar pelayanan rumah sakit. Pasal 32e UU yang sama menyatakan hak pasien adalah memperoleh pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindari dari kerugian fisik dan materi.

Dari ketentuan perundangan yang ada pelayanan kesehatan tidak dibolehkan menolak pasien dalam keadaan darurat atau miskin. Oleh karena itu mereka yang terlibat dalam pembuangan pasien harus dilihat sebagai tindakan kriminal dan diberikan sanksi hukum yang sepadan.

Adapun Pasal 304 Kitab Undang Hukum Pidana menyatakan “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 

Seharusnya Rumah sakit sebagai institusi sosial selain mengemban misi komersial tetap harus mengedepankan fungsi sosialnya, terutama kepada mereka yang miskin. Pasien miskin bukanlah barang rongsokan yang bisa diperlakukan semena-mena apalagi dibuang.


Sumber Referensi



http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt531541e729b91/penyekapan-anak-di-panti-asuhan-dan-pelanggaran-ham

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan Perhitungan Daya Pada AC ( Air Conditioner )

Kelebihan dan Kekurangan shock Breaker Jenis Telekopik dan Upside down

Perbandingan Perhitungan Daya Pada Dispenser