Kisah Ulama Menuntut Ilmu
Kesungguhan
Kisah Ulama Dalam Belajar Agama
Saat ini, ilmu agama bukanlah prioritas utama bagi
sebagian umat Islam. Tentu karena mereka tidak tahu harga dan hakikatnya. Para
ulama, dari zaman sahabat Nabi ﷺ hingga saat ini, menunjukkan keseriusan yang begitu
besar dan usaha yang begitu hebat untuk mempelajari agama. Usaha mereka ini,
memberikan pemahaman kepada kita seberapa besar kedudukan ilmu agama menurut
mereka. Seberapa mahal ilmu itu hingga layak dicurahkan usaha yang keras untuk
mendapatkannya. Karena inilah ilmu tentang firman Allah ﷻ dan sabda Rasulullah ﷺ.
Umar bin al-Khattab
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwasaya
Umar bin al-Khattab berkata, “Aku dan tetanggaku seorang Anshar (yakni Aus bin
Khauli), seorang dari bani Umayyah bin Zaid, kami saling bergantian mendatangi
majelis Rasulullah ﷺ. Ia
datang pada suatu hari dan aku pada hari lainnya. Apabila aku yang menghadiri
majelis, akan aku sampaikan kepadanya tentang wahyu dan penjelasan lainnya pada
hari itu. Apabila ia yang datang, ia pun melakukan hal yang sama.” (HR.
al-Bukhari dalam Kitab al-‘Ilm 89). Umat bergantian dengan tetangganya karena
mereka meluangkan waktu antara belajar agama dan mencari nafkah. Kalau hidup di
dunia yang fana ini butuh usaha untuk mencukupinya, tentu kehidupan akhirat
yang kekal butuh usaha ekstra untuk bekalnya.
Abdullah
bin Abbas
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma bercerita tentang perjalannya
mempelajari agama. Mengambil bagian dari warisan Rasulullah ﷺ. Ia berkisah, “Ketika
Rasulullah ﷺ wafat,
aku berkata kepada seorang laki-laki Anshar, ‘Wahai
Fulan, marilah kita bertanya kepada sahabat-sahabat Nabi ﷺ, mumpung mereka masih banyak (yang hidup)
saat ini’. ‘Mengherankan sekali kau ini, wahai Ibnu Abbas! Apa kau
anggap orang-orang butuh kepadamu sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh para
sahabat Rasulullah ﷺ
sebagaimana yang kaulihat?’
Ibnu Abbas melanjutkan, ‘Aku pun
meninggalkannya. Aku mulai bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah ﷺ. Suatu ketika, aku mendatangi seorang
sahabat untuk bertanya tentang suatu hadits yang kudengar bahwa dia
mendengarnya dari Rasulullah ﷺ. Ternyata dia sedang tidur siang. Lalu aku rebahan
berbantalkan selendangku di depan pintunya, dan angin menerbangkan debu ke
wajahku. Begitu keadaanku sampai ia keluar.
Ketika ia keluar, ia terkejut dengan
kehadiranku. Ia berkata, ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’
tanyanya. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan
hadits itu dari Rasulullah ﷺ. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku.
‘Mengapa tidak kau utus saja seseorang
kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. ‘Aku lebih berhak untuk
datang kepadamu,’ jawabku.
Setelah itu, ketika para sahabat telah banyak
yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Anshar tadi) melihatku dalam keadaan
orang-orang membutuhkanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih cerdas
daripad aku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310).
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma menjelaskan kisah ini, kisah
kesungguhannya belajar agama. “Aku pernah datang ke rumah Ubay bin K’ab. Saat
itu ia sedang tidur. Kutunggu ia sambil tidur siang di depan pintu rumahnya.
Kalau Ubay tahu, pasti dia membangunkanku, karena dekatnya kedudukanku (sepupu)
dengan Rasulullah ﷺ. Tapi aku
tidak suka mengandalkan hal itu”.
Dalam riwayat lain, beliau radhiallahu ‘anhuma menyatakan, “Aku mendekati tokoh-tokoh
sahabat Rasulullah ﷺ dari
kalangan Muhajirin dan Anshar. Aku bertanya kepada mereka tentang peperangan
Rasulullah ﷺ dan
tentang ayat-ayat Alquran. Setiap sahabat yang kudatangi pasti senang dengan
kedatanganku karena kedekatan nasabku dengan Rasulullah ﷺ. Aku bertanya kepada Ubay bin Ka’abradhiallahu
‘anhu. Ia adalah seorang yang dalam ilmunya. Aku bertanya tentang
ayat-ayat Alquran yang turun di Madinah. Ia menjawab, ‘Di Madinah diturunkan 27
surat, dan selainnya di Mekah’.” (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra,
2/371).
Asy-Sya’bi
Beliau adalah seorang ulama tabi’in. Ia
pernah ditanya, “Dari mana kau peroleh seluruh ilmumu?” Ia menjawab, “Dengan
cara tidak bersandar (bermalas-malasan). Bersafar ke berbagai daerah. Sabar,
sebagaimana sabarnya keledai. Bersegera sedari pagi sebagaimana burung gagak”.
(adz-Dzahabi dalamTadzkirah al-Huffazh, 1/81).
Imam asy-Syafi’i
Lihatlah bagaimana Imam asy-Syafi’i berlelah
letih dalam belajar, hingga ia mencapai derajat yang kita ketahui saat ini.
Beliau rahimahullah bercerita tentang proses belajarnya,
“Aku telah menghafalkan Alquran saat berusia 7 tahun. Dan menghafal
al-Muwaththa (buku hadits yang disusun Imam Malik) saat berusia 10 tahun.” (Abu
al-Hajjaj al-Mizzi dalam Tadzhib
al-Kamal, 24/366).
Menurut sebagian orang, alangkah beratnya
masa kanak-kanak Imam asy-Syafi’i. Namun apa yang ia capai di masa kecil
melahirkan orang sekelas dirinya di saat dewasa. Melalui dirinya, Allah ﷻ memberikan manfaat kepada umat manusia.
Kemanfaatan berupa ilmu. Tidak hanya untuk orang-orang di zamannya saja. Tapi
manfaat tersebut terus terasa hingga jauh dari masa hidupnya. Hingga masa kita
sekarang ini.
Imam asy-Syafi’i mengatakan, “Ketika aku
telah menghafalkan Alquran (30 juz), aku masuk ke masjid. Aku mulai duduk di
majelisnya para ulama. Mendengarkan hadits atau pembahasan-pembahasan lainnya.
Aku pun menghafalkannya juga. Ibuku tidak memiliki sesuatu yang bisa ia berikan
padaku untuk membeli kertas (buku untuk mencatat). Jika kulihat bongkahan
tulang yang lebar, kupungut lalu kujadikan tempat menulis. Apabila sudah penuh,
kuletakkan di tempaian yang kami miliki.” (Ibnu al-Jauzi dalam Shifatu Shafwah, 2/249
dan Ibnu Asakir dalam Tarikh
Dimasyq, 51/182).
Saat beliau mulai beranjak besar, antara usia
10-13 tahun, beliau butuh kertas untuk menulis apa yang telah dipelajari, tapi
tidak ada uang untuk membeli kertas-kertas itu. Ia pergi ke suatu tempat untuk
mendapatkan kertas yang telah terpakai di satu sisi halamannya. Separuh lembar
yang kosong itu, beliau gunakan untuk mencatat ilmu (Abu al-Hajjaj al-Mizzi
dalam Tadzhib al-Kamal,
24/361).
Untuk apa usaha besar itu dilakukan oleh
Asy-Syafi’i kecil, padahal ia masih terlalu muda? Jawabnya untuk ilmu yang
menurutnya begitu berharga.
Ibnu Abi Hatim mendengar cerita dari
al-Muzani, bahwasanya Imam asy-Safi’i pernah ditanya, “Bagaimana obsesimu
terhadap ilmu?” Imam asy-Syafi’i menjawab, “Ketika aku mendengar suatu kalimat
yang belum pernah kudengar, maka seluruh anggota badanku merasakan kenikmatan
sebagaimana nikmatnya kedua telinga saat mendengarkannya.”
Beliau juga ditanya, “Bagaimana semangatmu
dalam mendapatkannya?” Ia menjawab, “Sebagaimana orang yang bersemangat
mengumpulkan harta dan pelit membaginya merasakan kenikmatan terhadap harta.”
Beliau ditanya pula, “Bagaimana engkau
menginginkannya?” “Aku menginginkannya sebagaimana seorang ibu yang kehilangan
anaknya, tidak ada yang dia ingin kecuali anaknya.” Jawabnya.
Kita bisa tahu, apa yang beliau ucapkan ini
bukanlah omong kosong yang tak bermakna. Kalau bukan dengan obsesi sebesar itu,
semangat sehebat itu, dan keinginan sekuat itu, tentu ia tidak menjadi seperti
Syafi’i yang kita tahu.
Derajat imam (pemimpin) dalam ilmu itu tidak
diperoleh dengan santai-santai. Banyak hal yang harus dikorbankan. Sebagaimana
kata Ibnu Taimiyah, “Sesungguhnya kedudukan keimaman dalam agama hanya
didapatkan dengan kesabaran dan keyakinan.” (Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa,
3/358).
Dan Allah ﷻ mengajarkan kita sebuah doa:
وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang
yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74).
Menurut Abdullah bin Abbas radhiallahu
‘anhuma maksud ayat ini adalah “Jadikan kami pemimpin-pemimpin yang diteladani
dalam kebaikan.” (Ibnu Katsir dalam Tafsir
al-Quran al-Azhim, 3/439).
Referensi :
Kisahmulsim.com
Komentar
Posting Komentar